Komunitas Syababul Islam

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

    Buat Apa Bersikap Sombong ?

    Tya
    Tya
    Kafilah


    Jumlah posting : 2
    Points : 4
    Reputasi : 0
    Join date : 26.03.11

    Buat Apa Bersikap Sombong ?  Empty Buat Apa Bersikap Sombong ?

    Post by Tya Sun Mar 27, 2011 8:03 pm

    Tulisan indah itu kubaca dengan haru, “Aku berpesan kepadamu untuk membaca kisah hidup orang-orang shaleh; para shahabat Nabi, tabi’in, ahli ibadah dan ahli zuhud dari kalangan ahlussunnah. Berhentilah sejenak pada kabar-kabar mereka. Dan bacalah perjalanan hidup mereka. Karena itu akan memompa semangatmu dan menorehkan kehausan untuk meneladani mereka. Atau setidaknya membuatmu malu terhadap dirimu sendiri. Malu kepada Rabbmu saat engkau membandingkan hidup mereka dengan hidupmu. Maka tadaburilah kisah-kisah mereka. Hiduplah bersama mereka; dalam kezuhudan, kewara’an, penghambaan, rasa khauf kepada Allah, ketawadhu’an, keindahan budi pekerti dan kesabaran mereka...” (DR. ‘Aidh al Qarni, Hakadza Haddatsana az Zaman, hal : 283-384)

    Para pendahulu kita yang jumlah pakaiannya bisa dihitung dengan jari, sedangkan diri ini memiliki bertumpuk-tumpuk baju di lemari, jumlah lemarinya pun banyak, kalau mau menyumbangkan, dipilah-pilih dalam waktu yang lama. Para pendahulu kita makan dan minum dengan sederhana, beralaskan tikar dan lauk-pauk sekedarnya, dan dengan sederhana seperti itu pun, mereka tetap gemar bersedekah, namun diri ini harus menuruti mood, maunya makanan ini-itu, duduk di kursi empuk atau sofa, hidangan lengkap bahkan sering tersisa banyak akibat lapar mata. Para pendahulu kita rela memiliki jam tidur yang hanya sedikit, waktu-waktu hidupnya penuh ukiran menimba ilmu, memahami Al-Qur’an dan sunnah Rasul-NYA, sujud malam tak tertinggal, dhuha pun tak terlewatkan. Sungguh hal itu menguras air mata, malu, sungguh malu dengan para pendahulu kita, yang mereka yakini bahwa mereka memerlukan Sang Khaliq untuk berlindung dan meminta rahmatNYA, agamaNYA akan tetap kokoh dan tegak dengan utuh walaupun tiada kita hadir berkontribusi di dalamnya.

    Mereka yang sangat menjaga ibadah wajib serta mengoptimalkan yang sunnah, namun tetap rendah hati dan menjaga jiwa agar terjauh dari keangkuhan. Rasulullah —Shallallahu 'Alaihi Wassallam— yang merupakan “Al-Qur’an berjalan” serta dijamin Allah SWT untuk berada di jannahNYA, tidak pernah sedikit pun mencemooh atau mencela orang lain. Siapapun selalu beliau hargai meskipun kaum non-muslim. Para shahabat yang telah diberiNYA ilmu dunia akhirat pun, yang sudah punya “posisi jadi tetangga Rasulullah SAW” di surga, sedikit pun tak ada kita baca riwayat mereka berlaku sombong atau membanggakan diri.

    Para pendahulu yang penuh keteladanan diri namun “kepopulerannya di zaman ini” sering terpinggirkan akibat tontonan anak muda semacam film-film remaja, group-band, penyanyi terkenal, dsb. Mereka sering berkata, “Cukuplah dengan ilmu, membuat (seseorang) takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Dan cukuplah dengan kebodohan, membuat (seseorang) lalai mengingat Allah SWT”.

    Namun di arus modern tanpa batas ini, Ilmu bagi seseorang bisa menjadi penggusur keimanan, penyubur kesombongan, serta pemutus urat-urat malu. Ilmu dipakai untuk mencari kekayaan semu yang banyak, semegah-megahnya. Sungguh ironis. Contoh nyata saat ibundaku bercerita kejadian di Baitulloh enam tahun lalu, perjalanan haji beliau. Saat itu beliau sering diberi hadiah oleh teman-teman baru (yang berjumpa di sana) dari berbagai negara, dan suatu kali saat duduk makan, menikmati hidangan khas lokal, ada sepasang jama’ah yang sedang disapa oleh seorang nenek. Ternyata pasangan suami-istri itu ingin keluar mencari restoran, nenek di dekatnya berkata, “Sudah malam bu, ini juga makanan kan banyak, besok saja beramai-ramai nyari restonya...”

    Dengan ketus, si istri yang ternyata seorang dokter dengan penampilan cantik dan anggun berkata agak ketus, “Bukan apa-apa nek, perut kami udah lapar nih.. Saya tau spesialnya perut maunya apa, makanan ini gak cocok dengan lidahku. Yok, cepetan mas..”, seraya menarik lengan suaminya, selanjutnya segera mencari taksi. Namun sungguh di luar dugaan, suaminya lupa nasehat para pembimbing untuk mendahulukan laki-laki jika menaiki transportasi lokal, alhasil saat si istri buru-buru naik taksi, taksi langsung berlari kencang, wuuusss.. meninggalkan suaminya yang terbengong-bengong lalu berteriak kebingungan.

    Singkat cerita, memilukan, 3 hari setelah itu, usaha suami mencari istrinya ke beberapa rumah sakit disana berujung pada pertemuan terakhir. Hari itu, sudah senja, suami tersebut berjumpa sang istri saat akan menghembuskan nafas terakhir. Sang istri penuh darah di semua bagian tubuh, terutama alat vital, telinga, mulut, dll. Entahlah penyiksaan apa yang berlaku padanya, berbisik pada suaminya, “Papa.. ikhlaskan mama, mama hancur pa, diserang delapan orang, tak ada tenaga lagi, sakiiiit semuanya, tubuh mama tidak berguna lagi pa..”, kira-kira redaksinya begitu, semua jama’ah di sana (yang mengenal sang suami) begitu miris dan berduka cita sangat mendalam, sang istri menutup mata dan dimakamkan di sana. Tak ada yang berani berkomentar apa-apa, namun saat tiba di tanah air, para jama’ah hanya menyampaikan nasehat kepada keluarganya, “ingat yah, setinggi apa pun ilmu kamu, hati-hati dengan lidah, apalagi saat pergi haji, cepat sekali Allah SWT menurunkan balasan.. bersikaplah rendah hati, makanan yang disediakan, syukuri dengan ikhlas, jangan berkeluh kesah..”, dan kalimat lain yang membuatku juga merinding mengingat kebesaranNYA.

    Allah SWT mengingatkan dalam firmanNya, “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman [31] :18)

    Seorang teman yang dulu terjaga budi pekertinya, lalu Allah SWT telah membekalinya ilmu yang makin banyak, ternyata ia tergoda untuk membuat laporan “yang merupakan laporan palsu” demi bonus yang didapat dari system kolusi dan korupsi, tak heran, semua koruptor adalah “orang-orang pintar”, otak-atik komputer dengan santai, tanda tangan ini-itu dengan mudah, tangan bergerak lincah dan langkah kaki juga lancar, naik turun mobil mewah, atas usaha-usaha yang tadinya (mungkin murni halal dalam bekerja), lalu (tertular) bercampur haram. Akhirnya terus-menerus tidak peduli lagi, sikat yang haram asalkan mewah dan nyaman, naudzubillahi minzaliik.

    Padahal cobalah kita renungkan, ilmu yang dipunyai pun, adalah milik Allah SWT. Siapapun akan hilang “kejayaan” jika tiba saatnya nikmat berilmu ini diambilNYA kembali. Contoh nyata dokter S, favorit keluargaku, sejak zaman kakak sulung hingga generasi anakku lahir di tanah air, konsultasi kepada beliau, khusus masalah anak-anak. Lalu saat ini beliau sudah berada di kursi roda, separuh badannya tak bisa bergerak, beliau tak lagi dinas, “Saya sudah lupa.. hmmm, lupa..”, lirihnya kalau ditanya tentang sesuatu. “yah.. namanya juga sudah tua, jadi kita yang muda ini harus ingat, bahwa nanti ada masa pikun lho..”, celetuk anaknya.

    Pengalaman seorang teman yang mengisahkan bahwa seniornya, seorang doktor yang sedang menjalani S3, tiba-tiba jatuh tersungkur di suatu acara, lalu mengalami koma berbulan-bulan hingga kini, dengan kesimpulan urat-urat syaraf di otaknya terserang bakteri, hal ini juga harus menambah keimanan kita bahwa Allah SWT bisa mencabut nikmat sehat dan berilmu kapan pun juga, padahal rencananya dua bulan lagi beliau lulus pendidikannya.

    Dokter Agus, ustadz sekaligus guru biologiku di Bina Ilmi zaman SMU juga pernah menjelaskan tentang anatomi tubuh manusia, lalu saat beliau menunjukkan tengkorak kepala, dan berkata, “Buat apa kita sombong, cantik atau tampan, pintar atau banyak ilmu lantas bisa sombong ? Cobalah lihat ini! Rangka inilah yang tertinggal nantinya, lalu semakin lama akan hancur pula dimakan pengurai..,” ujarnya seraya menunjukkan tengkorak tersebut lekat-lekat pada murid-muridnya.

    Dulunya kupikir bahwa “isi kepala kita” pasti abadi, ilmu yang diperoleh di setiap bangku sekolah, atau dalam praktek laboratorium, dsb, pasti menempel terus di otak. Namun ternyata para dosenku di masa kuliah menjelaskan lebih detail, bukanlah “ilmu” itu yang abadi menempel di otak, tapi Ilmu Allah SWT memang abadi. Ilmu pengetahuan yang kita serap (yang hanya secuil ini) merupakan titipan Allah SWT, tak ada yang abadi untuk semua titipanNYA. Kelak yang menemani hari di saat perhitungan akhir adalah Amalan diri, maka Ilmu tanpa amalan adalah sia-sia. Maka, apalah guna sombong, bukankah dalam pengamalan keilmuan sehari-hari kita butuh orang lain, benar toh ? Berhentilah berpikir bahwa kita menolong si anu, si itu, coba balikkan pernyataan bahwa si anu dan si itu telah menolong kita untuk menjadi orang yang beramal. Begitu pun seorang dokter yang bijak, ia pasti merasa bahwa dirinya memerlukan keterbukaan konsultasi dari si pasien sebagai pengamalan ilmu pengetahuan, pasien akan disembuhkan Allah SWT, sedangkan sang dokter akan memperoleh “reward-Nya” atas amalan yang dikerjakan. Seorang guru pun demikian, Ilmu-Nya sampai kepada murid-murid atas perantaraan Allah SWT, sang guru memperoleh kebaikan dariNya berlipat ganda atas buah kesabaran dalam mengajarkan sesuatu, ia memerlukan para murid untuk mengamalkan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Ilmu yang kita punya laksana hanya setitik debu dibanding semesta ilmu-NYA.

    Sosok para orang tua bukanlah “pihak yang sengsara” untuk mengurusi anak-anaknya, namun sang anak-anak adalah amanah Allah SWT, orang tua memerlukan anak-anaknya untuk terus belajar dan beramal dalam perjuangan hidup ini, dan kepada Allah SWT jualah kita berserah akan penilaian terbaik-Nya.

    Sungguh sedih bila mengenang seorang Fulan yang sakit hati akibat kesombongan orang tuanya, padahal Fulan adalah anak sholeh yang akhlaqnya baik, cerdas dan selalu ingat akan jasa-jasa ibu bapaknya. Namun sang ibu yang wanita karir dan dalam keluarga mengambil alih “pimpinan” gara-gara si suami pengangguran, begitu gegabah dengan berteriak-teriak, “Jangan sembarangan kamu mau nikah usia muda, kalau bukan karena mama, kamu bisa jadi anak jalanan tau! Kasih dulu jatah gaji kamu ke mama, itu namanya anak berbakti! Atau tidak usah panggil Saya mama lagi! Anak bodoh!”, si Fulan bagaikan merasa banyak paku dilempar ke dalam dadanya, hingga biarpun paku itu terlepas, luka dan rasa sakitnya masih terasa. Ia hanya terdiam, dan kesombongan kalimat ibunya malah membuat sang ibu terhina di mata anak-anak dan orang lain.

    Si Fulan berpikir dan merenung, “padahal Saya tetap sayang pada mamaku itu, walaupun dia tidak menyusuiku, walaupun dia menitipkanku pada budhe, nenek, dan pembantu sejak bayi, walaupun dulu tiap hari tangisku mengiringinya karena ingin ikut ke kantor. Juga walaupun jika diriku menginginkan sesuatu, Saya harus menabung dengan keras untuk membeli sendiri, bahkan tabungan itu sering diambil mamaku untuk keperluan lainnya. Walaupun tiap hari kata-katanya ketus terhadap papa dan anak-anak, kami tetap menyayanginya. Walaupun saat saya diberi hidayah Allah SWT, dan menasehatinya, lalu ia patahkan nasehat itu dengan mengatakan bahwa Saya ‘anak kemarin sore’, harus ngasih duit dulu yang banyak buat ortu, baru boleh ngasih nasehat... Walaupun hubunganku dengan mama jadi lucu begitu, tapi biarlah Allah SWT saja Yang Maha Tahu, Saya sudah berusaha menjadi anak yang baik, namun di matanya tetap tidak baik karena ukuran ‘baik’ baginya adalah berbeda”, curhatan itu menjadikanku berkaca diri, memandang anak-anak kandung sendiri, lalu berbisik dalam hati, “Anak-anakku, Ummi tak akan seperti mamanya Fulan. Kalian adalah anak-anak titipan Alah SWT, kalian besar dan sukses kelak atas rahmat dan kebesaran Allah SWT, bukan karena ummi atau abi. Jika kalian pandai mencari ilmu dan menata keimanan, lalu beramal sholeh, itu sudah amat sangat membahagiakanku. Kadar kesuksesan kalian bukanlah dari jumlah nominal harta segudang atau segunung emas permata yang didapat, melainkan hati kalian yang berhasil tawadhu’ dan memahami diri sebagai hambaNYA yang sedang mencari bekal akhirat. Ya Allah, kuatkan hati ini untuk senantiasa istiqomah di jalan-Mu, amiin.”

    Masih kuingat kesombongan seorang om, sebut saja Om Waswis dan istrinya, Si Tante Wiswus. Dulu Om Waswis menampar seorang ikhwan di jalan raya, lalu mengambil kunci motor ikhwan tersebut, gara-gara motor butut si ikhwan membuat lecet sisi depan mobil Om Waswis. Sewaktu mereka berlawanan arah melalui tikungan, kecelakaan kecil itu terjadi. Sampai sekarang tak tahu kejadian selanjutnya, terakhir mamandaku melihat si ikhwan menyeret motornya sambil menahan rasa sakit di kakinya, terseok-seok. Padahal mobil Si Om cuma lecet sedikit doang, tak ada pengaruh terhadap laju mobil di jalan raya. (Semoga saja si ikhwan pengendara motor itu diberikan kesehatan dan berkahNya selalu, amiin).

    Sewaktu saya dan suami memperjuangkan hari H pernikahan 9 tahun lalu, Om Waswis “nyemprot” dengan lidahnya yang tajam, “Ulang lagi, pikir-pikir lagi donk! Nyebut-nyebut jihad dalam rumah tangga, anak bau kencur kayak kamu ini, Saya ini naik haji udah dua kali! Jihad tuh!”, lalu Tante Wiswus menambahi, “Ri... ri... Bego banget sih! Mau kawin ?! suami loe guru privat, kakak-kakak eloe guru-guru doank, miskin mulu takdir buat kalian yah! Cari noh yang kayak Om kamu ini, kerjanya di Bank! Bego koq dipiara!,” glek! Bayangkan, seorang manusia bisa sesombong itu, ia menganggap pernikahan di usia muda adalah kebodohan, sedangkan pergaulan bebas, married by accident seperti dirinya adalah hal yang lumrah! Naudzubillahi minzaliik, dan kata-kata itu dilontarkan di depan banyak orang. Al-Kibru (kesombongan) adalah “Menolak kebenaran dan merendahkan manusia”. Rasulullah SAW bersabda, “Cukuplah seseorang dikatakan berbuat jahat jika ia menghina saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim)

    Mungkin bagi pendengar lain yang emosional bisa berdebat hebat dan membuang waktu saja dengan menjawab perkataannya. Bahwa Om Waswis dan Tante Wiswus menjadikan gelar haji sebagai lambang kemewahan dan merasa paling hebat di muka bumi, padahal membaca ayat Al-Qur’an pun mereka masih kalah lancar dengan anak TK. Bahwa budaya perselingkuhan dalam rumah tangga mereka sudah jadi rahasia umum bagi para tetangga, bahwa hasil didikan ‘ala borju’ pada anak-anaknya telah membuahkan akhlaq yang buruk pula pada anak dan cucu mereka. Benarlah kalimat Allah SWT bahwa bisa jadi yang diperolok-olok adalah lebih baik daripada yang mengolok-olok.

    Namun, Demi Allah, Saya telah ikhlas memaafkan, tak pernah mendo’akan yang buruk-buruk buat mereka. Allah SWT adalah Sang Maha Pemberi Ampun, juga Maha Pemberi balas, bisa dengan mudah DIA melimpahkan adzabNYA, saat di dunia maupun di akhirat, tetaplah segala kejadian yang berlaku adalah yang terbaik sebagai skenario-NYA. Dalam beberapa bulan setelah kami menikah, tiba-tiba orang tuaku mengabarkan bahwa bank tempat om waswis bekerja telah dilikuidasi, lalu ia pensiun dipercepat. Jangankan melikuidasi bank, “melikuidasi” nyawa kita pun mudah bagiNYA. Tahun selanjutnya manakala rumah tangga kami kian menaiki tangga-tangga pencapaian cita-cita, ternyata Om Waswis mendekam di penjara, entahlah bagaimana cerita persisnya kami tak mau ikut campur, info yang beredar adalah sopir Om Waswis telah menabrak seseorang hingga tewas, sang korban melaporkan Om Waswis ke pihak berwajib karena dia menolak bertanggung jawab dan bersikap arogan terhadap keluarga korban. Sementara tante wiswus malah sibuk “menempeli” mamandaku, curhat berlinang air mata karena suami mendekam di penjara, dan anak-anaknya terjerat pergaulan bebas, serta di tengah curhatnya tentu memelas minta dikasihani, dan tanpa malu-malu minta duit pula, sebutnya, “Bagi-bagi rezeki lah denganku ini, mbak.. anak-anakmu khan sering kirim duit, Saya ini seret nih sekarang..”, dan seterusnya, tak pelak lagi yang ada di pikiran orang sombong hanyalah uang dan uang. Mereka lupa bahwa roda dunia berputar, suatu kali kita di bawah dan hendaknya ikhlas serta optimis berjerih payah meraih cita-cita, jagalah ‘izzah diri di kala berada di posisi bawah. Suatu hari kita di atas dan hendaknya makin dekat dengan Allah SWT, sang pemberi nikmat, sang penitip amanah-amanah yang kita emban. Lantas berhakkah sombong, apa guna sombong ? Sedangkan segala yang kita punyai hanyalah titipan saja, hanya sesaat, mudah bagi Allah SWT untuk mengambilnya kembali. Tak ada tempat buat kita bersembunyi dari ketetapan Sang Maha Kuasa.

    Nasehat baginda Rasulullah SAW, “Sedekah itu tidak akan mengurangi harta. Tidak ada orang yang memberi maaf kepada orang lain, melainkan Allah akan menambah kemuliaan untuknya. Dan tidak ada orang yang tawadhu’ (merendahkan diri) karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim)

    Ternyata “apa-apa” yang kita berikan kepada orang lain, yaitu harta, berbagi ilmu, memberi maaf, serta sikap rendah hati adalah pengamalan ilmu-Nya yang pasti kita bawa sebagai bekal di yaumil hisab. Kemuliaan diri di mata Allah SWT sudah otomatis akan mulia pula di mata makhluk lainnya, tak perlu pongah membangga-banggakan diri.

    Seorang abangku yang sudah jadi ilmuwan bercerita bahwa ketika ketemu guru SD, SMP dan SMA serta para dosen saya masih bersalaman takzim seperti biasanya, saya tidak malu bahkan sangat bangga pernah belajar dari mereka. Namun sekarang saking modernnya, terbalik nih posisi, bekas mahasiswaku malah melecehkan... yang dilecehkan kemampuan akademik lagi, hanya gara-gara nilai penelitian dia lebih besar dari yang saya jalani, yang ngasih nilai kan manusia toh, sombong sekali. Kalau saya bukan dosen dan tidak menyadari bahwa ilmu itu hanya titipan Allah, pasti udah saya jadikan "hewan percobaan" barangkali, hehehe, setengah serius setengah bercanda.

    Saya jadi ikut tersenyum dan teringat, memang benar, jika tak ada keseimbangan penjagaan iman dalam jiwa, maka ilmu yang diperoleh bisa dijadikan “mainan”, setiap orang bisa berbalas curang sesuka hati, berbalas melecehkan tanpa takut pada Sang Ilahi. Seorang ilmuwan, dokter, guru, penguasa, penulis berita, dan segala profesi lainnya dapat dengan mudah tergoda menuliskan hal fiktif atau memutar balikkan fakta demi harta dan tahta bahkan wanita, “amal shalih” nan sejati dipinggirkan demi kemuliaan di mata penduduk bumi. Apalagi dengan multi talenta, pengusaha besar bisa sekaligus membuat stasiun televisi dan media massa sehingga mempengaruhi opini publik, yang salah dibenarkan lalu kebenaran dipandang sebagai hal yang salah.

    Astaghfirrulloh... Bahkan di kelas dunia, antar-negara saling merendahkan, bisa saling lempar bom demi menunjukkan kekuasaan super. Para pejabat yang berilmu dengan kerapuhan iman, makin terlupa akan borok-borok hitam korupsi dan kolusi yang terus saja meraja-lela. Nominal milyaran dana rakyat lenyap, tapi “cuma” dihukum "bobo’ di penjara" 3 tahun saja, misalnya, atau tindakan moral yang bejat dengan “mengamalkan ilmu seksual” bukan pada tempatnya, yang jelas-jelas melanggar segala norma dan aturan hukum, ternyata bisa “dimaklumi”, dan juga dikenai sangsi penjara beberapa tahun saja. Sekelumit sangsi yang dibuat itu pun bisa direkayasa dengan “ilmu”, naudzubillahi minzaliik. Selanjutnya ilmu perekayasaan itu dijadikan alat untuk sombong, layakkah ? Banggakah mengikuti sifat setan tersebut ? Ilmu yang dipakai untuk merekayasa dan melanggar aturan Allah SWT adalah tidak membawa manfaat bagi diri sendiri, di dunia dan akhirat, dengan mudah akan menjadi hina di mata Sang Khaliq dan semesta. Dan Rasulullah SAW pernah mengingatkan bahwa tak akan masuk surga orang-orang yang sombong.

    Haritsah bin Wahb Al Khuzai’i berkata bahwa ia mendengar Rasulullah —shallallahu‘alaihi wa sallam— bersabda, “Maukah kamu aku beritahu tentang penduduk neraka? Mereka semua adalah orang-orang keras lagi kasar, tamak lagi rakus, dan takabbur (sombong).“ (HR. Bukhari No. 4918 dan Muslim No. 2853)

    Wallohu ‘alam bisshowab.

      Waktu sekarang Sun May 19, 2024 6:07 pm