Komunitas Syababul Islam

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

    Qaddafi dan Sarkozy yang Sama Kejamnya

    minakjinggo
    minakjinggo
    Kafilah


    Jumlah posting : 6
    Points : 10
    Reputasi : 0
    Join date : 26.03.11

    Qaddafi dan Sarkozy yang Sama Kejamnya Empty Qaddafi dan Sarkozy yang Sama Kejamnya

    Post by minakjinggo Mon Mar 28, 2011 12:57 pm

    Muammar Qaddafi tentu harus disalahkan atas tindakan brutal merespon oposisi, yang diklaim (berbagai LSM) telah mencapai 6000 lebih oposisi tewas. Tapi jika kita selalu mengatakan bahwa 40 tahun lebih Khaddafi memimpin adalah tindakan otoriter, lalu bagaimana mungkin oposisi bisa memperoleh perlengkapan senjata yang cukup besar ? Rakyat Mesir pun, yang mendamba demokrasi karena 30 tahun lebih dipimpin secara otoriter oleh Mubarak, tak memiliki kekuatan senjata sebesar oposisi Libya. Bukankah harusnya ada juga kecurigaan bagaimana oposisi Libya bisa mengakses kuantitas senjata yang cukup besar, meski tetap kewalahan menghadapi tentara atau milisi loyalis Qaddafi ?

    Jadi dengan membandingkan Mesir dengan kondisi di dalam negerinya, wajar jika rezim Qaddafi merespon dengan brutal pihak oposisi, karena Qaddafi merasa bahwa oposisi ini diklaim sebagai pihak separatis. Bukankah semua negara tak pernah suka ada separatisme yang merongrong kedaulatan? Bahkan Qaddafi selalu menyatakan penggerak oposisi ini ialah Al – Qaeda, harapannya agar negara – negara Barat sadar bahwa harusnya mereka menyerang atau memperlemah kekuatan senjata oposisi.

    Ada berbagai hal janggal bagaimana PBB memaksakan diri tetap membolehkan penyerbuan frontal dari AS, Inggris, dan utamanya Perancis, ke teritorial Libya. Terlebih Libya sebagai anggota tidak tetap DK PBB, bersama 2 anggota tetap DK PBB (Rusia dan China) menolak rencana serangan tersebut, yang terlanjur dijalankan. Kenapa utamanya Perancis pun, juga memiliki berbagai kemungkinan motif.

    Beberapa tahun lalu, Perancis dibawah pimpinan Nicolas Sarkozy, adalah inisiator KTT Mediterania, yang ironisnya juga diikuti Libya. Pada dasarnya, regionalisme dadakan ini ingin menegaskan lagi posisi Perancis yang makin surut supremasinya. Entah karena dinilai makin kehilangan pengaruh dibanding 4 negara anggota tetap DK PBB lainnya, ataupun makin menguatnya (misalnya) Jerman di Uni Eropa yang kadang membuat Perancis kehilangan pengaruh signifikan. Sementara beberapa tahun lalu pula, Perancis kembali efektifkan keanggotaan mereka di NATO, setelah selama puluhan tahun terkesan hanya sebagai formalitas keanggotaan karena perbedaan persepsi antara Perancis dan AS dimasa lalu dalam garis kebijakan NATO.

    2 Hal ini bisa dikaitkan mengapa Perancis seolah jadi pihak paling bersikeras untuk menyegerakan penyerangan ke Libya. Perancis ingin tegaskan bahwa mereka pemimpin dan atau penggerak utama keamanan di Laut Mediterania. Perancis tak mendapat momentum memperlihatkan kehebatan militer saat kekacauan di Tunisia dan Mesir, karena 2 negara ini benar – benar upaya demokratisasinya dilakukan civil society setempat. Momentum untuk menyerbu baru Perancis dapatkan saat Qaddafi diklaim telah secara brutal merespon oposisi, sehingga Perancis seolah membenarkan berbagai inisiatif yang berujung penyerangan kota Tripoli sebagai basis utama Qaddafi.

    Dengan menjadi penggerak utama (melalui legitimasi Resolusi PBB) untuk menyerang basis loyalis Qaddafi, Perancis juga ingin tegaskan supremasi militer mereka terhadap anggota NATO lainnya. Bahwa Perancis yang kembali aktif di keanggotaan NATO beberapa tahun terakhir, punya kemampuan militer yang tak bisa diremehkan negara anggota NATO lainnya. Entah nantinya, mungkin, Perancis berharap bahwa pendulum kepercayaan AS selaku penggerak utama NATO, akan lebih mengarah ke Perancis dalam isu – isu keamanan Eropa.

    Tapi akan sejauh mana tindakan intervensi militer yang dijalankan ? Hingga kini, baik Perancis, Inggris, dan AS lebih memilih tindakan jarak jauh. Yaitu tak secara langsung mendaratkan pasukan di sisi timur Libya yang masih mampu dikuasai oposisi. Sehingga, jika pun harus transit, pasukan dari ketiga negara ini (dan negara lainnya yang kemudian ikut terlibat, misal Italia, Kanada, dan Italia) memilih Malta dan Siprus. Intervensi jarak jauh ini, katanya, sebatas memperlemah basis militer loyalis Qaddafi, agar kemudian oposisi tak lagi mengalami represi dari loyalis Qaddafi. Benarkah Perancis dan lainnya benar – benar tak terpancing menjadikan Libya sebagai Iraq atau Afghanistan kedua ? Benarkah tak ada dorongan mempersenjatai oposisi Libya secara langsung saat ini untuk memperlemah posisi Qaddafi, persis terhadap Taliban pada Perang Dingin ? Bukankah suatu ketika oposisi Libya saat ini bisa berperilaku seperti Taliban yang justru lebih merepotkan bagi negara – negara Barat di Afghanistan ?

    Qaddafi belajar banyak dari kejadian di Iraq dan Afghanistan. Sehingga Qaddafi berusaha sekuat mungkin agar dirinya tak mengalami apa yang menimpa Saddam Hussein. Perlu diingat, kemakmuran warga Libya, utamanya warga Tripoli sebagai basis utama loyalis Qaddafi, masih jauh lebih baik dibanding warga Iraq loyalis Saddam hingga invasi kemudian dijalankan pasukan koalisi ke Iraq (20 Maret 2003).

    Libya memang memiliki wilayah dataran rendah yang mudah diserang seperti halnya Iraq, tapi kekuatan militer Libya masih jauh lebih baik dibanding milik Saddam pada 2003. Jika Qaddafi mengatakan bertekad menjadikan Libya sebagai medan perang lebih berkepanjangan, itu bukan omong kosong. Benar, bahwa tentara Libya (ironisnya) kurang terampil dalam berperang dan terkesan Qaddafi hanya suka menumpuk senjata. Justru itu yang dirancang Qaddafi, yaitu untuk melanggengkan kekuasaannya adalah menihilkan risiko bahwa petinggi militer tertentu memiliki pengaruh lebih luas, yang bisa saja mengancam rezzim Qaddafi sendiri. Sehingga sekalipun banyak militer yang mendukung oposisi, mereka tetap tak bisa menjatuhkan Qaddafi.

    Jika benar Libya menjadi medan perang yang lebih kompleks dibanding Iraq, lalu sejauh mana Perancis yang hingga kini sebagai inisiator serangan dan penggerak utama penyerangan ke Libya, akan mampu melakukan aksi militer. AS yang amat besar secara GDP dan pendapatan per kapita pun, tak kuasa terjebak dalam resesi, bukan hanya karena subprime mortgage. Tapi juga karena AS (rezim Bush Jr.) tak menyangka biaya invasi ke Afghanistan dan Iraq menjadi amat membengkak karena perang asimetri yang tak kunjung usai. Padahal biaya militer tadi bisa saja untuk pembangunan riil di AS sendiri. Sementara kini, Perancis bukannya tanpa masalah keuangan akut. Perancis sama rentannya mengulangi kolapsnya Yunani dan Irlandia (juga Portugal dan Spanyol). Padahal peralatan militer amat terkait energi (minyak bumi) sebagai penggeraknya, yang jika kemudian makin mahal, artinya biaya operasional militer makin besar. Apa sanggup Perancis mengambil risiko ini ?

    Atau inikah siasat Sarkozy mengalihkan kegagalannya di berbagai isu domestik (kemakmuran warganya, imigrasi, dan lainnya), untuk mengangkat popularitasnya pada isu internasional ? Bukankah Perancis tahun ini akan mengadakan pemilu nasional, sementara popularitas Sarkozy makin merosot.

    Jika Perancis bergerak terlalu jauh, misal melakukan invasi (pendaratan) langsung yang akan lebih banyak berpotensi menewaskan lebih banyak warga sipil Libya, bukankah Perancis atau Sarkozy sama brutalnya dengan Qaddafi ? Atau, karena Sarkozy mengklaim fakta bahwa 1 juta lebih warga Tripoli telah dipersenjatai Qaddafi, maka Sarkozy membenarkan semua warga yang memgang senjata di Tripoli bukan lagi warga sipil, sehingga berhak dibombardir militer Perancis. Bukankah kejadian di Mesir dan Tunisia saja, sudah amat banyak imigran (legal dan ilegal) dari negara – negara Timur Tengah dan Afrika Utara ke negara – negara Eropa Selatan untuk mencari rasa aman, termasuk ke Perancis ? Jika Perancis gegabah menginisiasi serangan besar – besaran, bukankah arus imigran akan makin besar ke Eropa, yang justru jadi beban tersendiri ? Padahal track record Sarkozy dalam isu imigrasi di Perancis amat buruk.

    Mungkin penentu keadaan di Libya, yang bisa saja tak terduga, ialah China. Dulu saat Iraq, China hanya memveto saja. Hal ini karena China tak terlalu banyak memiliki kepentingan ekonomi di Iraq. China dalam isu Libya, juga telah memveto. Perlu diingat, bisnis energi (minyak bumi) yang dijalankan China (melalui CNOOC, CNPC, atau Sinopec) di Libya juga amat besar, tak kalah dengan perusahaan energi AS, Kanada, atau negara Eropa. Bukankah invasi dari Perancis dan lainnya, mengganggu bisnis China. China bisa saja memakai logika, bahwa Libya adalah titik awal mulai aktifnya lagi Barat menanamkan pengaruh di Afrika, setelah dalam 1 dekade terakhir China amat aktif dalam FDI dan bantuan luar negeri ke berbagai negara Afrika. Atau secara nyata, dalam 4 – 5 tahun kedepan, akan terlihat nyata bahwa perusahaan energi negara – negara Barat makin dominan menguasai tambang minyak Libya, seperti halnya di Iraq.

    Yang jelas, China (dan Rusia, yang memveto serangan ke Libya) melihat dari jauh apakah Barat hanya mengulangi kesalahan seperti di Iraq dan Afghanistan. Apalagi jika Perancis dan lainnya terjebak wacana perang berkepanjangan yang dideklarasikan Qaddafi. Maka negara yang kini menyerang basis militer loyalis Qaddafi, berpotensi sama brutalnya sepeti Qaddafi sendiri, berkedok pembenaran dari PBB atau berkedok demokratisasi via intervensi kemanusiaan yang sama berpotensi membunuh makin banyak warga sipil tak berdosa di Libya.

      Waktu sekarang Tue May 07, 2024 5:45 pm